Rabu, 02 April 2008

Partai Politik Lokal

Aceh, UU Baru dan Parlok

Agus Maidi

Alumni UNIMAL

Penandatanganan kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI, 15 Agustus lalu di Helsinki adalah sebuah pembuktian mengenai adanya perubahan sikap dan kebijakan politik dalam penyelesaian masalah Aceh, baik itu dari Pemerintah RI maupun GAM. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah tujuan baru yang ingin dicapai. Niat baik kedua belah pihak ini harus benar-benar di dukung oleh seluruh komponen masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya. Karena semangat yang dituangkan dalam MoU tersebut bukanlah suatu pengkhianatan dari UUD 1945, bahkan semangat tersebut akan berkontribusi pada percepatan demokratisasi di Aceh dan Indonesia umumnya. Dukungan semua pihak tersebut diharapkan akan meredam pihak-pihak yang tidak sepakat dengan MoU (Damai di Aceh), juga untuk membangun suatu sistem kontrol bersama pada semua bentuk pelanggaran kesepakatan tersebut nantinya. Yang paling penting dari semangat MoU adalah telah mentransformasikan konflik kekerasan menjadi konflik politis sebagai langkah menuju tatanan yang demokratis. Konflik adalah sesuatu yang lumrah, namun senjata dan kekerasanlah yang menjadi sumber masalah.

Mou Helsinki juga mengamanahkan pembuatan UU baru pemerintahan Aceh. Untuk itu, perlu segera dilakukan penjaringan aspirasi masyarakat luas, agar dalam UU yang baru nantinya benar-benar dapat mengakomodasi kepentingan seluruh komponen masyarakat yang ada di Aceh. Agar UU Pemerintahan Aceh nantinya bisa mengakomodasi semua kepentingan masyarakat luas, perlu dirangkai proses yang tepat untuk itu. Mungkin untuk alur bisa dengan melakukan beberapa workshop dan diskusi publik dengan tujuan meakukan brainstroming akan persepsi UU Pemerintahan baru Aceh serta membahas secara terperinci makna yang terkandung dalam setiap point MoU, untuk meminimalisir kesalahan tafsir di antara komponen masyarakat dan akan mengganggu proses perdamian.

Selanjutnya dilakukan penetapan beberapa personil yang punya kemampuan akademis dan legislasi untuk perumusan naskah akademik dan draft awal yang akan dikritisi oleh beberapa ahli, dan akan dipaparkan ke publik dengan berbagai metode. Langkah berikutnya adalah menyerahkan draf awal tersebut kepada DPRD untuk dibahas dan dikritisi kembali sebagai bahan tawaran ke DPR RI. Rancangan yang dibuat itu nantinya harus mempertimbangkan dan mengakomodasi pandangan dari lapangan, baik itu GAM, masyarakat dan pemerintah RI. Dikarenakan UU terdahulu untuk Aceh juga telah sedikit banyak mengakomodasi kepentingan masyarakat Aceh, pembuatan UU baru nantinya juga harus mempertimbangkan muatan UU terdahulu tersebut. Usulan untuk pembentukan UU Aceh akan banyak sekali muncul dari berbagai komponen. Kondisi ini juga harus bisa di konsolidasikan seperti semangat pembentukan diatas. Untuk point-point dari MoU yang terkait langsung dengan kepentingan dan wewenang legislatif dan pemerintahan Aceh, sebaiknya di bahas di Aceh. Beberapa wewenang dari legislatif dan pemerintahan Aceh yang tertuang dalam MoU, dianggap tidak bertentangan dengan UUD 1945, dimana hal tersebut adalah bentuk lain dan interpretasi dari makna otonomi khusus. Dan ini merupakan suatu konsekwensi dari kompromi politik, sehingga tidak akan sangat bermasalah dari perspektif hukumnya. Dan semangat dari MoU serta UU baru nanti adalah langkah maju untuk fondasi demokratisasi Aceh dan Indonesia.

Salah satu point dari klausul Penyelenggaran Pemerintahan di Aceh dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinky yang ditanda tangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005 yaitu pembentukan undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Berdasarkan amanat MoU, undang-undang ini akan mulai diundangkan dan akan berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Maret 2006. Undang-undang baru ini nantinya akan menjadi payung hukum bagi Aceh dalam proses penyelenggaraan pemerintahan ke depan, menggantikan UU No.18/2001. Dalam proses legal drafting RUU Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, 3 (tiga) institusi kampus di Aceh, yakni Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry dan Universitas Malikussaleh mendapat mandat resmi dari Pemda NAD untuk merumuskan draft UU penyelenggaraan pemerinatahan Aceh untuk kemudian diserahkan kepada tim ahli Pemda NAD guna dikompilasi dan disusun menjadi draft RUU.

Diluar ketiga institusi diatas, komponen lainnya juga dipandang sangat urgent. Yakni untuk meyumbang kontribusi pemikiran dan intelektualitasnya dengan ikut merumuskan dan menyusun draft RUU dari perspektif dan versi masing-masing komponen dengan memperhatikan prinsip partisipatif, asipiratif, transparan, dan akuntable. Karena dengan lahirnya multi draft RUU dari berbagai komponen di Aceh yang kemudian diserahkan secara bersamaan ke DPRD NAD guna disusun menjadi sebuah draft RUU yang nantinya diajukan ke pemerinatah maupun DPR RI, diharapkan akan dapat melahirkan sebuah draft RUU Penyelenggaraan Pemerintah Aceh yang partisipatif dan aspiratif, dengan mengakomodir dan memanifestasi aspirasi dan kepentingan seluruh masyarakat Aceh.

Dalam proses perumusan dan penyusunan RUU dari berbagai draft yang diajukan ke DPRD NAD, juga dipandang sangat penting adanya proses pengawalan terhadap draft RUU, bahkan pengawalan juga harus dilakukan di level Jakarta setelah draft RUU Penyelenggaran Pemerintahan Aceh diajukan ke DPR RI maupun Pemerintah pusat. Hal lainnya yang dipandang sangat urgent untuk dilakukan pascapengesahan UU Penyelenggraan Pemerintahan Aceh, yaitu mensosialisasikan UU baru bagi Aceh tersebut kepada seluruh elemen masyarakat Aceh. Hal ini guna membangun pemahaman dan pengetahuan masyarakat Aceh bahwa telah lahir UU baru bagi Aceh yang akan menggantikan UU No. 18/2001 tentang Otonomi khusus bagi Aceh serta terhadap berbagai point yang menjadi isi dari UU Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh kedepan nantinya. Disini sangat diperlukan perumusan dan penyusunan legal drafting terhadap draft rancangan undang-undang penyelenggaraan pemerintahan Aceh yang berlandaskan kepada prinsip partisipatif, aspiratif, dan transparan, serta melakukan pengawalan terhadap RUU itu sendiri dilevel DPRD dan pemerintahan daerah, serta di level DPR dan pemerintahan pusat.

Harus dilakukan sosialisasi terhadap UU baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh kepada seluruh elemen masyarakat dari berbagai level dan lintas sektor di Aceh. Yaitu dalam rangka membangun pemahaman dan pengetahuan masyarakat Aceh terhadap berbagai point dari isi UU baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Dengan demikian akan lahirlah draft RUU Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh yang aspiratif dan akuntabel dengan indikasi tingginya dukungan masyarakat Aceh terhadap UU tersebut, dan tingginya pemahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap berbagai point dari isi UU Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Bagaimanapun dukungan dan pemahaman masyarakat Aceh jauh lebih penting dari apa yang dirumuskan kemudian. Sebab, ini menyangkut perubahan nasib masyarakat dan rakyat Aceh. Dengan demikian masyarakat tidak kecewa untuk kesekian kalinya pada Republik ini.

Parlok

Kehadiran partai lokal memberi harapan baru bagi hidupnya demokratisasi Aceh. Dan Pembentukan partai lokal adalah suatu keniscayaan, untuk terciptanya kehidupan yang demokratis di Aceh. Namun, harus ada kelompok dari masyarakat sipil Aceh, yang membahas mengenai bentuk dan proses pembentukan partai lokal tersebut. Ini perlu dilakukan agar partai politik lokal benar-benar menjadi wadah politik rakyat Aceh dan membantu proses demokratisasi kehidupan perpolitikan di Aceh. Perlu ada penjaringan aspirasi dari masyarakat sehingga menjadi sebuah bentuk baku yang mewakili suara masyarakat, yang akan ditawarkan kepada pemerintah tentang format dan bentuk dari partai politik lokal ini. Dan untuk prinsip yang akan diakomodasi dari partai lokal ini nantinya harus menghapuskan sistem recall dari partai, Namun sistem recall yang bisa digunakan adalah recall langsung dari rakyat pemilihnya.

Dalam proses pengawalan peraturan untuk partai lokal ini, AMM juga mempunyai wewenang untuk itu, sehingga dianggap perlu untuk memberikan tawaran tasfir dari format partai kepada AMM, dan mengetahui serta memberi masukan untuk mekanisme pengawalan dari AMM (Uni Europa dan Asean). Terjemahan dari partai lokal dalam persyaratan nasional, sebaiknya diterjamahkan dalam makna ketentuan dan format partai lokal di atur pada aturan tingkat nasional (UU). Sesungguhnya pemahaman mengenai partai politik lokal dalam MoU adalah seperti sebuah ruang yang kosong, siapa saja boleh mengisinya. Sehingga rakyat Aceh mesti dengan segera membuat sebuah penafsiran dan draft yang nantinya akan diserahkan kepada DPR RI, dimana draft yang disepakati ini bersifat tuntutan dan harus mewakili suara rakyat Aceh secara menyeluruh.

Keberadaan partai politik lokal adalah untuk menjawab kegagalan partai politik nasional yang telah pernah ada dalam mewakili suara rakyat aceh. Partai politik lokal akan bersifat sebagai alat rakyat Aceh dalam mengimplementasikan MoU yang telah disepakati, dan juga sebagai alat umtuk mengapresiasikan peluang-peluang yang dimiliki setelah penandatanganan MoU. Tapi perlu diingat, terpenting justru keseluruhan proses yang sedang dan akan berlangsung, tetap harus ada sebuah pemantauan khusus (monitoring) dari komponen masyarakat sipil Aceh, baik di Aceh maupun di Jakarta, agar tidak terjadi penyelewengan yang dapat merugikan masyarakat dan rakyat.

Bagaimanapun, satu hal yang pasti semua kita menginginkannya bahwa Aceh ke depan adalah Aceh yang lebih baik. Aceh baru yang memiliki sejuta harapan dan impian. Sehingga, dengan UU baru dan partai politik lokal akan membuka ruang damai dan sejahtera abadi bagi semua kita. Akhirnya, kalaupun ada air mata yang tertumpah di tanah ini, maka itu adalah mata air haru menatap wajah Aceh yang ceria dan gemilang jaya. Bukan lagi tetesan air mata kepedihan dan api dendam antarsesama.

*) Penulis adalah staff pada Task Force